Rabu, 18 Maret 2009

Harga diri, identitas sosial dan konflik antar kelompok

Prasangka dalam konflik antar etnik


Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.

Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.

Apakah konflik?

Apakah konflik? Lebih spesifik apakah konflik antar etnik? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan. Definisi konflik diatas mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar.

Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
Pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan
Hubungan pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana.

Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing-masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.

Sumber konflik antaretnik

Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka.

Bisa kita lihat, bahwa apa yang dikemukakan Sukamdi di atas merupakan turunan dari apa yang disampaikan faturochman mengenai penyebab konflik. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.

Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.

Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.

Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor-faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.

Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70-an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14-15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok-kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama halmana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab-sebab yang memadai.

Selain adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca “Kapok Jadi Nonpri’, terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun dari persoalan-persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.

Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu faktual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung-dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan.

Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata-mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. ‘Keterasingan dan kesendirian’ sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor-faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.

Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan-rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.

Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu-waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya market-dominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar. Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji-puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas. Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market-dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi legitimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak-hak dari kelompok market-dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market-dominant minorities akan terus berlanjut. Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45).

Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.

Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.

Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.

Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.

Sekarang kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas, sebagaimana yang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia terhadap etnis Cina. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon. Sebab ketiga, munculnya faktor pemicu, yakni dihembuskannya isu keagamaan oleh pihak-pihak tertentu dalam isu etnisitas. Di Ambon ternyata etnisitas tumpang tindih dengan keagamaan. Etnis Bugis, Buton dan Makassar notabene beragama Islam dan orang Ambon umumnya beragama kristen.

Pengusiran etnis Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dari Ambon oleh orang-orang Ambon asli pada awalnya boleh jadi hanya dipicu oleh persoalan etnisitas belaka, mirip dengan pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Namun jika hanya persoalan etnisitas tentunya begitu etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon maka selesailah sudah permasalahan di Ambon. Faktanya, konflik di Ambon justru semakin menghebat. Setelah etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon, kemudian yang berkonflik adalah orang Ambon yang beragama Islam kontra orang Ambon yang beragama kristen. Selanjutnya, konflik itu terus menerus membesar dan dilabeli konflik antar agama. Secara gampang bisa dikatakan bahwa konflik antar agama di Ambon muncul sebagai bentuk solidaritas agama. Tatkala etnis Bugis, Buton, dan Makassar yang beragama Islam terusir oleh orang Ambon yang beragama Kristen, lalu muncullah rasa solidaritas sesama muslim pada orang Ambon yang beragama Islam. Akibatnya kemudian pertikaian yang terjadi adalah antara penganut agama Islam dan agama Kristen.

Akibat konflik yang luas dan merusak antara penganut agama, muncullah prasangka masing-masing pihak terhadap pihak lain, halmana menyulitkan upaya rekonsiliasi. Prasangka inilah yang terus-menerus, sampai saat ini, menyebabkan potensi konflik antar agama di Ambon tetap besar. Menurut seorang teman dari Ambon, sampai saat ini masih sering terjadi konflik-konflik kecil di Ambon yang berpotensi melahirkan konflik berskala besar kembali. Jadi, konflik yang berawal dari adanya prasangka kemudian menghasilkan prasangka pula.

Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.



Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia

Abstract
The article is made to analysis the mechanism of finding th Indonesian Chinese identity in the scoop of social identity. Up till now, the Indonesian Chinese are still seeking for their identity. Some traumatic event and happening had made th Indonesian Chinese suffered so much. Among others are the 1965 Communist rebellion, the hazardous ethnical harassment in May 1998, the race discrimination, mistreated, antipathy and prejudice from several group. All mentioned above have made the Indonesian Chinese confuse to make a certain choice for their identity.
Key words: social identity
Pendahuluan
Di kalangan orang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese ataukah Cino. Dalam beberapa kesempatan ketika penulis melakukan penelitian terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina, sebagian subyek mengubah kata Cina dalam kuesioner dengan Tionghoa. Budiman (1998) sebagai orang keturunan Cina mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah kejatuhan Soeharto dan Orde Barunya. Istilah Cina sebenarnya merupakan ‘hukuman’ yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Dalam hal ini Budiman bersikap tidak mempersoalkan hal tersebut karena masih banyak masalah lain yang lebih penting. Namun demikian Suryadinata (1999) nampaknya tidak sependapat dengan Budiman di atas. Menurutnya sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasakan menyakitkan.
Paparan di atas sebenarnya merupakan salah satu indikasi adanya proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat etnis Cina di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan keadaan orang-orang Cina di beberapa negara tetangga seperti Philipina ataupun Thailand, dimana orang Cina sudah berakulturasi dan menjadi warga pribumi, maka kedudukan etnis Cina di Indonesia nampaknya belum menemukan format yang pas. Masih berlaku istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan etnis Cina dengan etnis pribumi yang lain. Sementara terhadap etnis pendatang lain seperti Arab, India, istilah non pribumi ini

nampaknya tidak berlaku. Walaupun orang Cina sudah beranak cucu di bumi Indonesia selama ratusan tahun, sampai saat ini masih saja berkembang anggapan orang Cina sebagai perantau, orang yang menumpang hidup dan cari makan di negeri orang. Orang Cina juga menyandang label WNI lengkap dengan berbagai atribusi yang cenderung berkonotasi kurang menyenangkan. Diibaratkan orang Cina hanya diterima di beranda depan rumah dan belum diterima di dalam rumah sebagai keluarga sendiri.
Selama ini selalu saja kebijakan para penguasa, membuat kedudukan etnis minoritas ini selalu tersudut baik itu di era kolonial maupun di era kemerdekaan (Susetyo 2002). Di era Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tercatat dua peristiwa yang dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat Cina, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Manurut Lan (1998) peristiwa 1965 merupakan trauma paling berat bagi orang Cina di Indonesia. Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan pada era pasca kerusuhan Mei 1998, Bachrun dan Hartanto (2000) menyimpulkan telah terjadi krisis identitas di kalangan orang Cina, karena segala upaya yang telah dilakukan agar bisa diterima sepenuhnya sebagai orang Indonesia telah hancur dalam waktu singkat akibat kerusuhan tersebut. Bagi Suryadinata (1999), seorang pakar Cina yang cukup dikenal, masalah identitas merupakan bagian penting dalam pemecahan ‘masalah cina’ di Indonesia. Namun demikian kapan kepastian itu akan diperoleh ? Apakah ada jaminan bahwa kesewenang-wenangan di masa lalu tidak akan diulangi oleh penguasa-penguasa di masa datang ? Apakah masyarakat sendiri (etnis bukan Cina) bisa memahami persoalan tersebut ?
Ke-Cina-an vs Ke-Indonesia-an
Menurut Lan (1998) pencarian jati diri orang Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan – menjadi Indonesia, tetap Cina atau mengadopsi identitas lain. Namun demikian nampaknya pilihan-pilihan tidak selalu menempatkan orang Cina pada keadaan yang mudah. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang

dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini (Susetyo, 1999) Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi Melting Pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja.
Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya stereotip, prasangka dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Cina di mata etnis Indonesia lainnya. Sementara di kalangan aparat, birokrasi pemerintahan, sampai sekarang mereka nampaknya masih menggunakan paradigma lama dengan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina misalnya dalam hal status kependudukan ataupun status kewarganegaraan.
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri dalam format yang berubah. Menurut Lan (1998) pergeseran tersebut dari ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC memburuk.
Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.
Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigeneus nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru orang Cina harus melakukan

asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002). Namun demikian konsep tentang identitas Indonesia sendiri menurut Lan (1999) juga belum jelas. Apakah sosok Rudy Hartono, Kwik Kian Gie dan orang Cina lainnya yang telah mengharumkan nama bangsa sebagai model bagi identitas Indonesia tersebut ?
Karena berbagai tekanan dan ketidakpastian tersebut, maka orang Cina berada di persimpangan jalan. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan penelitian dari Lan (1998) yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi identifikasi diri di kalangan orang Cina di Indonesia. Setidaknya ada 4 orientasi yang ditemukan,
Kelompok pertama, adalah mereka yang percaya bahwa mereka adalah etnis Cina dan akan selalu menjadi etnis Cina. Oleh karena itu dalam mengidentifikasikan diri, mereka selalu kembali ke asal usul dan warisan budaya etnis Cina.
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasa telah berhasil berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang merasa asal usul etnis dan budaya mereka merupakan kutukan yang menyulitkan posisi mereka untuk menjadi bagian yang utuh dari masyarakat dimana mereka tinggal.
Kelompok ketiga, adalah mereka yang berkeyakinan bahwa mereka telah melampaui batas etnis, negara dan bangsa serta telah menjadi seorang yang globalis dan internasionalis.
Kelompok keempat, adalah mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara budaya maupun politis.
Demikian pula dari temuan dari Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang Cina, ternyata terpilah-pilah menjadi lima kelompok cara pandang, yaitu :
Kelompok pertama adalah yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan Partai Tionghoa.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan melalu platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan Partai Bhineka Tunggal Ika
Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group.
Kelompok keempat adalah mereka yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggunan. Misalnya dengan mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia. Kelompok kelima adalah mereka yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI Perjuangan, PAN dan lain sebagainya. Dari paparan di atas kiranya dapat diperoleh gambaran tentang bagaimana dinamika pencarian identitas etnis Cina di Indonesia. Pada kenyataannya di tengah masyarakat etnis Cina telah berkembang subkultur-subkultur baru yang merupakan respon terhadap realitas sosial yang berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Cina yang plural.

Identitas Etnis Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.
Dalam pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya (Taylor dan Moghaddam, 1994). Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang / kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain (Hogg dan Abram, 1988)
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek. (Hogg dan Abram, 1988; Sarwono, 1999)
Dinamika Pencarian Identitas Etnis Cina Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Dinamika pencarian identitas etnis Cina sebenarnya terkait perlakuan yang diterima dari pihak penguasa. Dalam Sarwono (1999), dan Susetyo (2002) dikemukakan bahwa pada jaman pemerintahan kolonial Belanda, perbedaan status etnis diberlakukan dengan tegas. Orang Eropa diberi status tertinggi dan mempunyai hak dan fasilitas terbaik. Orang Cina yang waktu itu disebut orang Timur Asing (vreemde osterlingen) mempunyai status di bawah orang Eropa dan golongan pribumi (inlander) diberi status yang paling rendah (kecuali bangsawan yang diberi status seperti Eropa).
Dalam statusnya yang di tengah ini, orang Cina meningkatkan citranya dengan melakukan mobilitas sosial, yaitu mengadopsi berbagai identitas yang melekat pada orang Eropa ataupun Belanda. Banyak orang Cina yang berpendidikan ala Eropa, cara mereka berpakaian juga ala Eropa, mereka juga mengadopsi agama Kristen dan Katolik seperti orang Eropa disamping keyakinan yang mereka bawa dari tanah leluhurnya, dan lain sebagainya. Amat jarang orang Cina yang mengidentifikasi dengan identitas pribumi, karena status pribumi yang lebih rendah. Interaksi dengan orang pribumi nampaknya lebih untuk kepentingan dagang dan kepentingan lain yang bisa menguntungkan. Dalam hal tertentu orang pribumi malah terangkat derajatnya, misalnya ketika ada perempuan pribumi yang dinikahi orang Cina. Dengan demikian, yang menonjol pada orang Cina di era kolonial Belanda adalah perpaduan antara identitas Cina tradisionil dan identitas ala Eropa.
Namun demikian situasinya nampak berbeda sama sekali ketika memasuki era kemerdekaan. Persoalan yang mengedepan terutama adalah tentang kepastian status kewarganegaraan. Dikemukakan oleh Coppel (1994) orang Cina pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan baik yang berskala nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak bisa segera memberikan kepastian. Bahkan undang-undang yang mengatur hal ini ditengarai akan membatasi jumlah orang Cina yang bisa menjadi warganegara. Sementara pemerintah RRC pada waktu itu masih memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi orang Cina di perantauan, yaitu disamping menjadi warganegara di negara tempat merantau juga melekat kewarganegaraan Cina. Sebagai reaksi terhadap keadaan tersebut maka sejumlah tokoh Cina mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang inti perjuangannya ingin menempatkan etnis Cina sejajar dengan etnis/suku lain dengan konsep integrasi. Sementara kelompok Cina yang lain menghendaki asimilasi sebagai solusi.
Namun demikian sejak terjadinya peristiwa pemberontakan PKI 1965, keadaannya berbalik sama sekali. Konsep integrasi secara politis telah dikategorikan sebagai bagian dari ideologi komunis sosialis (Lan, 1998). Dengan demikian pilihan satu satunya yang diberi ruang oleh penguasa adalah dengan asimilasi. Sebenarnya disinilah akar permasalahannya mengapa pencarian identitas etnis Cina menjadi sedemikian rumit.
Pasca peristiwa 1965 status etnis Cina sedang dalam kondisi terendah. Mereka dipojokkan oleh penguasa maupun masyarakat bukan Cina. Pada saat itu berbagai kekerasan massa anti Cina mulai marak. Mengacu pada teori identitas sosial, maka ketika suatu kelompok citranya sedang terpuruk selalu ada upaya untuk bereaksi terhadap keadaan ini dalam rangka meraih kembali citra / identitas sosial yang positif. Adapun modus yang biasa terjadi adalah dengan mobilitas sosial dan perubahan sosial.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial yang dilakukan nampaknya cukup bervariasi tergantung dari persepsi masing-masing kelompok tentang bagaimana harus memperbaiki citra. Salah satu reaksi yang muncul adalah dengan eksodus ke luar negeri seperti ke Belanda, kembali ke RRC dan sebagainya. Sementara kelompok asimilasi nampaknya mendapat angin, salah satu tokohnya Junus Jahja mendorong orang Cina untuk memeluk agama Islam sebagai kunci pembauran total. Dalam penelitian yang dilakukannya terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina di Semarang, Susetyo (2002) menemukan bahwa ada kecenderungan subyek untuk mengadopsi sifat-sifat positif dari etnis Jawa sebagai identitas sosialnya. Hal ini nampak menjadi salah satu solusi dalam pencarian identitas ini. Pada akhirnya kita akan menemukan identitas Cina yang

Jawa, Cina yang Batak, Cina yang Padang, Cina yang Sunda dan sebagainya. Namun demikian ketika mereka tidak dapat menemukan hal-hal yang mendukung perbaikan citra dirinya sebagaimana hal di atas, banyak juga yang akhirnya pindah keluar negeri menjadi kelompok yang beridentitas kosmopolitas, internasional, lintas etnis maupun lintas negara. Dinamika tersebut nampaknya dapat tergambarkan dari penelitian dari Lan (1998) tentang orientasi identifikasi diri ataupun dari Tan (1998) tentang aspirasi politik di atas.
Selain melalui mobilitas sosial, nampaknya juga ada kecenderungan melakukan perubahan sosial, yaitu dengan memperbaiki citra dari ke-Cina-an. Salah satunya adalah dengan menggeser orientasi ke-Cina-an dari yang berorientasi tradisionil menjadi ke-Cina-an yang berorientasi nasional. Barangkali kecenderungan ini lebih banyak berkembang di kalangan generasi yang lebih muda, dimana mereka sudah begitu menguasai lagi adat istiadat Cina tradisionil, tidak bisa berbicara dalam bahasa mandarin, memiliki pendidikan yang modern. Dengan demikian ke-Cina-an sekarang tampil dalam kemasan dan citra baru yang lebih bisa diterima dan tidak lagi berasosiasi dengan masa lalu yang traumatis.

Kesimpulan
Apa yang bisa disimpulkan dari paparan di atas, bahwa krisis identitas yang terjadi di kalangan etnis Cina di Indonesia sangat terkait dengan nuansa kebijakan politik penguasa, dimana mereka memiliki kepentingan tertentu untuk menempatkan etnis Cina sesuai dengan kemauan politiknya. Posisi minoritas yang cenderung rentan, selalu memojokkan etnis Cina dari waktu ke waktu. Krisis identitas etnis Cina terutama memuncak pasca pemberontakan G30S PKI yang menempatkan status etnis Cina dalam tataran terburuk. Dalam upaya menemukan kembali citra identitas sosial yang positif, etnis Cina menggunakan modus yang variatif baik dalam bentuk mobilitas sosial maupun dengan perubahan sosial.


MEMAHAMI SELUK BELUK KONFLIK ANTAR ETNIS
Oleh: Sugeng Mashudi, S.Kep.,Ns
Diseminarkan pada mata kuliah Sospol dan Masalah Kesehatan
Program Studi S1 Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan UMSurabaya


Setelah perang dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu sosial bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan berakhirnya perang dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Para pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia baru yang makmur dan damai. Tata dunia baru ini akan mencegah setiap bentuk peperangan, gesit di dalam menanggapi berbagai bencana alam, dan secara aktif melakukan pemerataan sumber daya demi kemakmuran seluruh bangsa. (Brown, 1997)[1]
Semua harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun belakangan ini, dunia diwarnai dengan berbagai konflik etnis yang melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Pada beberapa konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan dapat disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999 menarik banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa konflik lainnya, seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap meletus menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan bahwa PBB akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan. Pada konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat lebih sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat disebut genosida atau belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang dilakukan, ketika orang-orang dibantai dan pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya tidak terlalu peduli dengan konflik ini, terutama karena kepentingan negara-negara maju yang ada di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang muncul dari terjadinya konflik etnis. Tulisan ini juga hendak memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik etnis dan kekerasan massal. Pada bagian pertama, saya akan mencoba mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik. Kemudian, saya akan mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik etnis, baik dari penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian ketiga, saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Pada bagian akhir, berbekal beberapa argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.


Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81).[2] Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas etnis’.
Pertama, sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama.
Ketiga, orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang mereka tempati. Dan keenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut sebagai komunitas etnis.
Dari kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Yang juga harus ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis, karena hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan bukan persoalan etnis.
Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.

Akar-akar Konflik Etnis
Biasanya, orang beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai. (Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.

Di dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997) Saya akan coba membedah satu per satu. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, ” yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997) Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Brown lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.
Kedua, jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat tersebut terpaksa berusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
Brown lebih jauh berpendapat, bahwa ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya telah roboh, maka situasi politis yang ada biasanya lebih mendorong kelompok-kelompok yang ada untuk mengambil sikap menyerang daripada bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis yang ada seringkali juga berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam masyarakat mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak membutuhkan teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara infanteri yang membawa senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini adalah terciptanya situasi politis yang semakin tidak stabil. Situasi ini biasanya akan berkembang menjadi konflik etnis dengan skala yang lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan senjata nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh lebih efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di dalam proses perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata nuklir bisa menjadi alat penjaga kestabilan yang efektif.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)
Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. (Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
Problem ini semakin rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih belum stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari sempurna di dalam menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok etnis mendirikan organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu, serta menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
Keberadaan kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan antar kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik pun akan semakin besar.
Di sisi lain, paham nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa terelakkan.
Di dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar etnis.[3] Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.[4]
Tentu saja, hal ini sangat tergantung dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika proses demokratisasi sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya adalah suatu bentuk tirani minoritas terhadap kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka tingkat ketegangan antar etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses demokratisasi akan mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim otoriter tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan memiliki resiko tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok etnis tertentu menuntut perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi lain, rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang seimbang, baik dalam pemerintahan maupun dalam ekonomi, bagi semua kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat, maka proses demokratisasi justru akan berdampak positif bagi semua problematika terkait dengan perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2) Faktor berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain, maka yang terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis minoritas seringkali tidak terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di suatu masyarakat tidak terlalu jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan semua kelompok etnis akan terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan kondisi yang ideal bagi proses demokratisasi.
(3) Jika militer memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis mayoritas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju perdamaian dan demokrasi akan cukup besar. (Brown, 1997)
(4) Dan jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka biasanya proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang terjadi adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan menguasai politik masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika rezim lama jatuh dari kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan nasional”, demikian tulis Brown, “akan tetapi momen ini tidak akan bertahan lama jika masalah mendasarnya diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan sebaliknya, jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka pimpinan oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini, pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar berbagai kelompok etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah meluasnya konflik antar etnis selama proses transisi ke pemerintahan demokratis, adalah dengan menghadapi berbagai problem etnis tersebut sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan ketegangan antar etnis dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis dapatlah dicegah, atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5) Horowitz lebih jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak partai politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik bukanlah bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih merupakan cerminan dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini, proses pemilihan umum tidak akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas akan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis minoritas menjadi korban dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung dari suatu kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6) Juga di dalam masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali menggunakan sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika sosial seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai penyebabnya. Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di berbagai belahan dunia, ketika proses pemilihan umum sedang berlangsung. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan otoriter, kompromi dan deliberasi publik adalah suatu proses yang asing. Hal ini tentu saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses demokratisasi dan upaya penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media massa juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 87)
(7) Dan terakhir, banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara yang secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pelaksanaannya juga masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu dibutuhkanlah suatu perubahan konstitusional dan perubahan komitmen politis yang signifikan, sehingga berbagai problematika penyebab dan akibat terjadinya konflik etnis dapat ditanggapi secara tepat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993) Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.
Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain, orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai alasan untuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
Problematika semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.

Kesimpulan sementara
Dengan demikian, Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory yang berguna untuk menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh dunia. Sangatlah sulit bagi kita untuk merumuskan suatu pisau analisis yang universal untuk menggambarkan mengapa konflik etnis yang satu memiliki skala yang lebih besar daripada konflik etnis lainnya. Akan tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan beberapa alternatif hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
Pertama, konflik etnis dapat terjadi, jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru, ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut. Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk menjelaskan akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak, karena masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan dampak-dampak yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya pecah.

Dampak dari Konflik Etnis
Apakah dampak yang ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89) Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi politis. (Brown, 1997)
Ketika kelompok etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.
Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang penting.
Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Banyak hal-hal di atas akan menjadi problem, baik sebelum maupun sesudah negara baru terkait resmi terbentuk. Dengan demikian, menurut Brown, komunitas internasional haruslah segera membuat keputusan mengenai keenam hal di atas secepat mungkin (Brown, 1997, hal. 91). Jika keputusan terlambat dibuat, maka kemungkinan akan terjadi kekacauan di negara baru tersebut, atau malah terjadi konflik etnis yang melibatkan kekerasan. Kestabilan dan keamanan internasional adalah taruhannya di sini.
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak mampu membuat persetujuan bersama, baik dalam hal rekonsiliasi ataupun perpisahan legal politis secara damai. Banyak pertentangan antar etnis justru bermuara pada konflik yang melibatkan kekerasan pada skala yang masif. Tentu saja, motif-motif yang mengakibatkan terjadinya konflik ini beragam. Kelompok etnis minoritas bisa menuntut untuk membentuk negara mereka sendiri, atau menuntut otonomi politik dalam bentuk federal guna menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, kelompok etnis mayoritas biasanya hendak memperbesar kekuasaan mereka atas seluruh teritori, termasuk kekuasaan mereka atas kelompok minoritas.
Pada beberapa kasus, kelompok etnis minoritas kalah, dan pemerintah yang berkuasa berhasil mewujudkan tatanan politis yang mereka inginkan. Hal ini paling jelas di dalam kasus Tibet. Kasus-kasus semacam ini, menurut Brown, memiliki dampak sangat kecil bagi komunitas internasional, tepat karena status kekuasaan tidaklah berubah (Brown, 1997, hal. 92). Hal yang menjadi perdebatan biasanya adalah, apakah komunitas internasional akan memberikan tekanan politis kepada kelompok etnis mayoritas untuk menghormati hak-hak dasar kelompok etnis minoritas, atau tidak?
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok etnis minoritas berhasil memberontak, dan membentuk negara mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Bangladesh dan Slovenia. Jika hal ini terjadi, maka komunitas internasional juga harus menghadapi enam konsekuensi, seperti pada perpisahan secara damai. Komunitas internasional juga harus membantu negara baru tersebut untuk pulih kembali setelah mengalami perang saudara. Akan tetapi, ada juga kasus-kasus, di mana tidak ada satu pihak pun yang menang di dalam pertempuran. Konflik pun berkembang semakin besar, dan bermuara pada kebuntuan. Kasus ini bisa ditemukan di Angola, Cyprus, dan Sri Lanka. Tidak ada solusi politik ataupun militer yang bisa menyelesaikan konflik di sana.
Pertanyaan reflektif dari semua ini adalah, mengapa kita harus mempedulikan hal-hal semacam itu? Mengapa kita harus mempedulikan terjadinya perang antar etnis di negara yang letaknya sangat jauh dari negara kita sendiri? Apakah kita memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di dalam konflik-konflik tersebut? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, skala konflik etnis menciptakan semacam kewajiban moral di dalam diri kita yang mendengarnya untuk melakukan intervensi, sehingga skala kekerasan bisa diminimalisir, ataupun dihilangkan sama sekali. Ada semacam panggilan kepada kita untuk mengurangi penderitaan, apapun bentuknya, terutama yang diakibatkan oleh perang. Kedua, beberapa konflik etnis secara langsung mengancam kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan. Secara khusus, menurut Brown, ada enam aspek dari kehidupan komunitas internasional yang mendapatkan pengaruh (Brown, 1997).
(1) Konflik etnis bisa bermuara pada pembantaian rakyat sipil. Mengapa ini terjadi? Menurut Brown, konflik antar etnis biasanya tidak menggunakan teknologi militer yang canggih. Biasanya, pasukan yang bertempur adalah pasukan yang baru terbentuk, dan terdiri dari milisi yang sebelumnya merupakan warga negara sipil (Brown, 1997). Di dalam pasukan tersebut terdapat pembagian kerja, dan warga sipil biasanya menjadi pemasok makanan strategis yang menjamin pasukan dari sisi logistik. Penyerangan kepada warga sipil bertujuan untuk memutus pasokan logistik ini. Kedua, sebuah kelompok militer yang lemah biasanya akan mengandalkan strategi perang gerilya, dan strategi pengeboman tempat-tempat yang mereka anggap strategis, seperti kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan cara ini, adanya korban masyarakat sipil tampak tidak terelakkan.
Ketiga, di dalam pertempuran, kelompok militer dan kelompok sipil seringkali bercampur baur, terutama jika pertempuran terjadi di arena terbuka ataupun tempat umum. Dalam situasi itu, korban yang berasal dari masyarakat sipil tidaklah terhindarkan. Dan keempat, konflik antar etnis biasanya merupakan kulminasi dari pertempuran untuk merebut suatu wilayah tertentu. Untuk mengamankan suatu wilayah dari kekuasaan kelompok etnis lainnya, milisia ataupun militer biasanya mengusir masyarakat sipil yang tinggal di daerah tersebut. Pengusiran tersebut bisa dilakukan dengan cara mengancam, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan pembersihan etnis. Menurut Brown, banyak konflik antar etnis melibatkan terjadinya tindak kekerasan massal dan pembantaian sistematis terhadap rakyat sipil (Brown, 1997). Suatu tindakan yang sekarang banyak dikenal sebagai genosida.
Mengapa kita harus peduli dengan semua itu? Mengapa kita harus peduli dengan konflik yang letaknya ribuan kilo meter dari tempat kita hidup? Salah satu alasannya adalah, karena konflik tersebut melanggar nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat internasional, dan dengan demikian mempengaruhi masyarakat internasional secara keseluruhan. Menanggapi ini, banyak usaha telah dilakukan untuk membedakan secara jelas yang mana pihak yang memberontak, dan yang mana pihak yang secara sah memiliki otoritas atas suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan merumuskan semacam kode etik peperangan. Akan tetapi, dalam realitas, hal ini seringkali diabaikan, terutama ketika kedua pihak yang berperang mulai secara sistematis dan disengaja menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran mereka.
Alasan lainnya adalah, karena pembiaran terhadap semua bentuk pembantaian masyarakat sipil adalah suatu tindakan yang melanggar moralitas universal kita sebagai manusia. Kekejaman yang terjadi di Jerman pada perang dunia kedua, atau pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia pada akhir abad kedua puluh lalu, menyentuh rasa kemanusiaan di dalam diri kita untuk melakukan intervensi guna mencegah terjadinya korban lebih banyak lagi. Jadi, ada kewajiban moral dan kewajiban legal yang mengikat komunitas internasional untuk melakukan intervensi terhadap semua bentuk konflik etnis, terutama yang secara nyata menjadikan warga sipil sebagai korban mereka.
(2) Terjadinya konflik etnis biasanya bermuara pada terciptanya begitu banyak pengungsi, terutama karena konflik biasanya melebar menjadi penyerangan terhadap warga sipil. Misalnya, sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, ketika perang di Khasmir meletus. Perang antara Armenia dan Azerbaijan membuat sekitar 600.000 orang harus kehilangan tempat tinggal mereka. Perang di Bosnia membuat sekitar 600.000 orang harus meninggalkan kampung halaman mereka, dan menuju Balkan. Pengungsi karena konflik-konflik lainnya, seperti di Bhutan, Birma, Kamboja, Iraq, dan Darfur, juga tak kalah besar.
Dengan jumlah sebanyak itu, kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama, jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya, negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini tentu saja memperluas skala perang.
Kedua, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketiga, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati, terutama juga para pengungsi mendirikan sekolah, surat kabar, organisasi-organisasi berbasiskan etnis, dan rumah ibadah mereka sendiri.
Keempat, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri, terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. (Brown, 1997, hal. 93). Dan kelima, jika kehadiran para pengungsi, dengan segala problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi pada krisis yang tengah terjadi.
(3) Penggunaan senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya sungguh memberikan suatu dimensi baru di dalam arti kata perang, ataupun kata konflik etnis. Sangatlah mungkin, bahwa pihak-pihak yang saling bertempur menggunakan senjata pemusnah massal tersebut. Sejauh saya mendapatkan informasi, India dan Pakistan masing-masing memiliki senjata nuklir. Ketegangan politis di antara dua negara tersebut terus meningkat. Hal yang sama kiranya terjadi antara Russia dan Ukraina. Walaupun dalam jangka waktu dekat dapatlah dipastikan bahwa tidak akan pecah konflik besar di negara-negara tersebut, tetapi kemungkinkan terjadinya konflik yang melibatkan senjata pemusnah massal di masa depan tetaplah harus diperhatikan.
Kemungkinan lainnya, menurut Brown, adalah bahwa pemerintah pusat yang terkait dengan konflik yang terjadi mengambil langkah-langkah drastis dengan menggunakan senjata pemusnah massal untuk mempertahankan diri. (Brown, 1997, hal. 94) Semua kejadian ini secara jelas langsung mempengaruhi situasi keamanan internasional. Jika konflik dengan menggunakan senjata pemusnah massal sampai terjadi, maka itu sudah menghancurkan semua perjanjian internasional yang telah dibangun sebelumnya. Contoh paling jelas adalah tentang bagaimana pemerintah Irak menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pemberontakan suku Kurdi pada dekade 1980-an.
(3) Menurut Brown, konflik antar etnis juga memiliki efek berantai. (Brown, 1997) Konflik antar etnis dapat menyebar dengan beberapa cara. Jika suatu negara yang terdiri dari beragam etnis mulai pecah serta memperbolehkan beberapa kelompok untuk melepaskan diri, maka kelompok-kelompok lainnya pun akan ikut menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan. Hal semacam ini terjadi di Uni Soviet, di mana 14 republik berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Moskwa. Kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Uni Soviet, seperti Chechnia, Kalmyk, Tatarstan, dan Tymen, kini terus berusaha memperoleh otonomi dari Moskwa.
Masalah lainnya juga muncul, ketika negara A memberikan kebebasan bagi kelopmok B untuk membentuk negaranya sendiri. Biasanya, kelompok minoritas di dalam B juga akan menuntut untuk melepaskan diri dari B. Jika kelompok minoritas tersebut memiliki ikatan etnis dengan negara A, maka mereka biasanya ingin kembali untuk bergabung dengan negara A. Hampir semua efek berantai dari konflik antar etnis ini memiliki skala kekerasan yang besar. Besarnya tingkat kekerasan yang terjadi ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagi dunia internasional. Pertama, karena kekerasan semacam itu bisa menciptakan ketidakstabilan regional yang bermuara pada terjadinya kekacauan yang mempengaruhi lalu lintas ekonomi maupun kondisi politik daerah terkait. Kedua, terjadinya kekacauan politis maupun ekonomi ini bisa memicu munculnya kekuatan politis garis keras yang hendak merebut kekuasaan. Kekuatan garis keras ini biasanya berpegang pada ideologi ataupun agama tertentu sebagai basis dari organisasi mereka. Mereka hendak memaksakan cara pandang mereka untuk diterapkan sebagai ideologi dasar.
Ada efek berantai lainnya yang seringkali terlewatkan, yakni bahwa berhasilnya gerakan perlawanan di tempat yang satu biasanya akan menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan di tempat lainnya. Semakin berkembangnya teknologi komunikasi memungkinkan berita tentang berhasilnya suatu gerakan perlawanan di kawasan tertentu untuk segera diketahui oleh seluruh dunia. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan gerakan perlawanan secara massal yang memiliki cangkupan internasional.
(4) Dalam banyak kasus, menurut Brown, pengaruh dari kepentingan-kepentingan negara lain juga bisa mempengaruhi jalannya konflik antar etnis. (Brown, 1997, hal. 96) Misalnya, pada 1990, Amerika Serikat mengirimkan tentaranya ke Liberia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terperangkap akibat konflik di sana. Pada tahun yang sama, Perancis dan Belgia mengirimkan tentaranya ke Rwanda dengan alasan yang sama. Amerika Serikat melakukan intervensi pada perang saudara Irak, karena sadar bahwa kepentingan industri mereka akan minyak sedang terancam akibat perang. Hal ini menegaskan apa yang sudah saya tulis sebelumnya, bahwa kepentingan politik dan ekonomi negara lain akan mempengaruhi jalannya konflik antar etnis yang tengah terjadi.
(5) Konflik antar etnis, jika biarkan terus berlangsung, akan mengancam kredibilitas banyak organisasi internasional. Salah satu alasan keberadaan NATO sekarang ini adalah untuk menjaga stabilitas di kawasan Atlantik Utara, yakni Amerika dan Eropa. Akan tetapi, ketika konflik di Yugoslavia terjadi, organisasi ini nyaris tidak berbuat apapun. Hal yang sama kiranya terjadi, ketika Amerika Serikat melanggar perintah dari PBB untuk tidak melakukan penyerangan ke Irak pada awal abad ke-21. Yang terakhir ini sekaligus membuktikan lemahnya kekuatan politik dan kredibilitas PBB sebagai lembaga internasional yang berusaha menjaga perdamaian dunia. Hal ini tentunya menjadi preseden buruk bagi dunia internasional, karena dengan mudah suatu negara bisa menciptakan konflik tanpa ada halangan apapun dari komunitas internasional yang seharusnya memiliki otoritas untuk mencegahnya.
Secara umum, pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma etis internasional akan memotong semua prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi kehidupan bersama di level internasional. Dengan kata lain, konflik antar etnis yang dibiarkan berlanjut tanpa intervensi akan mengancam tidak hanya keberadaan tatanan regional, tetapi juga kredibilitas tatanan internasional sebagai keseluruhan. (Brown, 1997)

Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir akibat dari konflik antar etnis, yang seringkali memiliki cangkupan kekerasan yang luas? Pandangan umum mengatakan, bahwa pihak asing tidak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan menghadapi konflik antar etnis, karena konflik ini tepat berakar pada kebencian yang diwariskan dari masa lalu yang partikular. Kebijakan yang umum dilakukan adalah dengan menarik diri dari konflik, serta melihat bagaimana konflik berjalan dan mengakhiri dirinya sendiri. (Brown, 1997, hal. 97) Di samping itu, penyebab dari terjadinya konflik antar etnis juga sangatlah banyak. Beberapa aspek juga bisa memperbesar skala kekerasan di dalam konflik yang tengah terjadi. Aspek-aspek tersebut juga seringkali merupakan hasil dari pengaruh “kekuatan asing” di luar etnis-etnis yang tengah berseteru.
Menurut Brown, cara yang paling tepat untuk menghadapi konflik antar etnis adalah dengan menanganinya sedini mungkin, sebelum masalah menjadi semakin rumit, dan kekerasan yang lebih besar terjadi. (Brown, 1997) Lebih dari itu, pencegahan terjadinya konflik etnis jauh lebih baik daripada berusaha menyelesaikan apa yang telah terjadi.
Pada level ini, ada baiknya saya mengajukan satu pertanyaan penting, yakni apakah yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak luar untuk meredakan tegangan yang muncul akibat terjadinya konflik antar etnis? Pada level sistemik, hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah soal isu keamanan. Jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi salah satu kelompok yang tengah dalam konflik, maka kemungkinan besar, senjata tersebut justru akan meningkatkan intensitas konflik yang terjadi. Tindakan ini juga akan dianggap sebagai ancaman dari kelompok lainnya.
Di samping itu, jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi kedua belah pihak yang tengah berkonflik, supaya terjadi keseimbangan kekuatan, maka hal ini jugalah problematis. Potensi korban dan ketegangan politis untuk akan bertambah. Dengan demikian, tindak pemberian senjata bagi kelompok apapun di dalam konflik antar etnis adalah suatu tindakan yang kontra produktif, baik bagi kedua kelompok yang tengah berseteru, maupun bagi komunitas internasional yang pasti akan terpengaruh oleh konflik tersebut.
Pada level domestik, menurut Brown, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. (Brown, 1997, 98) Pertama, komunitas internasional haruslah berusaha membantu kelompok yang dominan di dalam konflik untuk menciptakan negara efektif (effective states). Negara efektif adalah negara yang didasarkan tidak lagi melulu pada nasionalisme, tetapi lebih pada kesepakatan bersama yang kemudian dilegalisasi di dalam hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Dengan terbentuknya negara efektif ini, nasionalisme semu dan etnosentrisme pun akan berkurang intensitasnya. Akan tetapi, komunitas internasional juga harus berhati-hati, jangan sampai pembentukan negara efektif ini malah jatuh ke dalam totalitarisme baru, yang justru akan memperbesar skala dan intensitas konflik.
Kedua, komunitas internasional juga bisa membantu kelompok-kelompok terkait untuk menciptakan suatu pemerintahan yang bersifat representatif (representative governments). Di dalam pemerintahan semacam ini, tidak ada satu pun kelompok, seminoritas apapun dia, dijauhkan dari pembagian kekuasaan. Institusi politik yang ada harus ditata dengan kepastian, bahwa setiap kelompok memiliki perwakilannya di birokrasi dan parlemen, serta bahwa setiap kepentingan mereka dapat dipenuhi semaksimal mungkin oleh sistem yang ada. Untuk mencapai ini, pemilu dengan sistem ‘pemenang akan mendapatkan segalanya’ tidaklah boleh diterapkan. Selain berperan sebagai penasehat, perwakilan dari komunitas internasional juga bisa berperan sebagai mediator di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Komunitas internasional juga bisa memberikan pendampingan di bidang ekonomi (economic assistance), terutama bagi kelompok yang sistem ekonomi maupun politiknya masih beroperasi secara tidak efektif. (Brown, 1997, 98)
Ketiga, menurut Brown, komunitas internasional haruslah mendorong masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk sungguh menghormati dan memberdayakan perbedaan-perbedaan kultural. (Brown, 1997) Atau minimal, komunitas internasional haruslah menekan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk mencegah terjadinya diskriminasi pada kelompok yang minoritas. Setiap kelompok etnis haruslah memiliki kesetaraan status di hadapan hukum. Setiap kelompok etnis juga haruslah memiliki hak-hak ekonomi maupun politik yang sama. Hak untuk beragama dan beribadah juga haruslah dijamin. Dan sejauh itu memungkinkan, setiap kelompok etnis haruslah diperbolehkan menggunakan bahasa mereka sendiri di sekolah-sekolah maupun di komunitas lokal, di mana mereka hidup dan beraktivitas.
Pada Desember 1992, PBB telah melakukan deklarasi penghormatan terhadap hak-hak kultural setiap orang. Akan tetapi, menurut Brown, seperti banyak deklarasi mengenai hak asasi manusia lainnya, deklarasi ini tidak memiliki ikatan hukum. Bahkan bisa dikatakan, bahwa instrumen HAM yang dirumuskan PBB ini sangatlah lemah, sehingga hampir tidak punya otoritas di hadapan komunitas internasional. Untuk menambal kelemahan itu, PBB perlu secara agresif bekerja untuk menciptakan negara efektif, yang pada akhirnya bertujuan untuk memastikan penerapan instrumen HAM di berbagai belahan dunia. Tidak hanya itu, PBB dan komunitas internasional secara keseluruhan harus mulai menerapkan sanksi, baik itu sanksi ekonomi, politik, bahkan militer, bagi negara-negara yang gagal melindungi HAM warganya.
Pada level persepsi, komunitas internasional dapat membantu setiap negara menuliskan sejarahnya sendiri-sendiri secara tepat. Sejarah yang ditulis haruslah terbuka terhadap diskusi dengan kelompok lain yang mungkin sekali mempunyai kepentingan yang berbeda. Proses ini sendiri melibatkan akademisi dan perwakilan dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Memang, beberapa pertemuan tidak akan menghapus kebencian dan dendam yang diturunkan sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap sejarah. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan dalam bentuk konferensi dan seminar tersebut merupakan suatu usaha yang perlu terus dilakukan, walaupun hasilnya hanya bisa dilihat dan dirasakan di dalam proses.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh komunitas internasional, jika tindak pencegahan konflik gagal, dan perang antar etnis pun terjadi? Menurut Robert Cooper dan Mats Berdal, ada empat hal yang harus dilakukan. (Brown, 1997, 99) Pertama, komunitas internasional harus menyatakan suatu ketegasan moral dan politis untuk melakukan intervensi. Kedua, intervensi yang dilakukan haruslah memiliki tujuan politis yang obyektif. Artinya, tujuan dari intervensi, terutama intervensi militer, haruslah demi kebaikan sebanyak mungkin pihak yang terlibat.
Ketiga, komunitas internasional juga harus mampu menunjukkan sikap konsistensi di dalam melakukan internvensi konflik. Perang antar etnis seringkali berlangsung lama. Kelompok-kelompok yang saling berseteru memiliki motivasi berperang yang besar, terutama karena mereka merasa bahwa keberadaan mereka terancam. Jika komunitas internasional ingin melakukan intervensi semacam itu, maka mereka haruslah memiliki legitimasi politik maupun hukum yang kuat. Dan keempat, komunitas internasional juga harus sudah memutuskan, kapan mereka harus menarik diri dari konflik antar etnis yang tengah terjadi. Jika ini tidak dipertimbangkan terlebih dahulu, komunitas internasional juga bisa terlibat di dalam konflik yang berlarut-larut, dan malah memperbesar skala konflik.
Brown juga berpendapat bahwa proses diplomasi di dalam konflik antar etnis tidak akan pernah berjalan, jika tidak ada ancaman dalam bentuk sanksi ekonomi maupun militer. (Brown, 1997) Yang juga penting diingat adalah, bahwa pendekatan yang bersifat militeristik tidak akan bisa menyelesaikan problem sampai pada akar-akarnya. Pendekatan militer paling maksimal hanya bisa menjadi penengah antara dua pihak yang tengah berseteru dengan menggunakan senjata api, tetapi tidak pernah bisa menciptakan perdamaian. Pendekatan militer, pada dirinya sendiri, tidak akan pernah menyelesaikan problem politis dan perseptual yang sungguh berakar di antara kelompok-kelompok etnis yang berperang. “Kunci kepada suatu resolusi konflik yang sesungguhnya”, demikian tulis Brown, “adalah pengembangan masyarakat sipil dalam suatu komunitas politis yang otentik.” (Brown, 1997, 100) Inilah yang masih harus kita pelajari bersama.

Kepustakaan
1.Brown, M. 1997. Causes and Implications of Ethnic Conflict, dalam The Ethnicity
Reader. Nationalism, Multiculturalism, and Migration, Guibernau dan John Rex
(eds), Great Britain, Polity Press, hal. 80-100.
3Horowitz, D. 1985. Ethnic Groups in Conflict, Berkeley, University of California Press,
4.Lijphart, A. 1990. The Power-Sharing Approach, dalam Conflict and Peacemaking in
Multiethnic Societies, Lexington, Lexington Books, hal. 491-509.
2.Smith, 1986. The Ethnic Origins of Nations, Oxford, Basil Blackwell
Wattimena,A. 2008, MEMAHAMI SELUK BELUK KONFLIK ANTAR ETNIS.
www.rezaantonius.wordpress.com. 8 Juni 2009 pukul 21.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar