Rabu, 18 Maret 2009

Malpraktik

Malpraktik dalam bidang Medis

Medical Negligence

Dalam beberapa dekade terakhir ini istilah malpraktik cukup terkenal dan banyak dibicarakan masyarakat umum khususnya malpraktik bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita flashback beberapa dekade ke belakang khususnya di Indonesia anggapan banyak orang, dokter adalah profesional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administratif yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atas hasil perawatan atau pengobatan.

Yang masih perlu dikaji dan didiskusikan kembali adalah apakah sudah benar dasar penuntutan yang disampaikan kepada dokter atau rumah sakit dengan dasar dokter atau rumah sakit bersangkutan telah melakukan tindakan malpraktik jika kita tinjau dari kaca mata Undang – Undang Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Undang – Undang Praktek Kedokteran, KODEKI serta standar profesi dokter dalam menjalankan profesinya.

Transaksi terapeutik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian antara pasien dengan penyedia layanan dimana dasar dari perjanjian itu adalah usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan usaha/ikhtiar. Agar dapat berlaku dengan sah, trasaksi tersebut harus memenuhi empat syarat, pertama ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua kecakapan untuk membuat sesuatu, ketiga mengenai suatu hal atau obyek dan yang keempat karena suatu causa yang sah. Transaksi atau perjanjian menurut hukum dengan transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakekatnya transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku dokter dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci ataupun menegaskan berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan bagi dokter maupun pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan perlindungan hak pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Nomer 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Menurut Leenen kewajiban yang harus dilakukan dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan standar profesi medik (SPM) yang pada hakekatnya terdiri dari beberapa unsur diantaranya bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama, sesuai dengan ukuran medik, sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori keahlian medik yang sama, dalam keadaan yang sebanding dan dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit dari tindakan medik tersebut.

Perbedaan yang mendasar antara hukum pidana umum dengan hukum pidana medik adalah sebagai berikut hukum pidana umum yang diperhatikan adalah akibat dari peristiwa hukumnya sedangkan hukum pidana medik yang diperhatikan adalah sebabnya. Jika akibat suatu perawatan medis hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan atau pasien mengalami kerugian maka belum tentu dokter yang merawat telah melakukan kesalahan. Harus diteliti terlebih dahulu apakah dalam melakukan perawatan tersebut dokter telah menerapkan tindakannya sesuai dengan standar profesi yang dibenarkan oleh hukum dan nilai-nilai kode etik profesi sebagaimana yang tertuang dalam KODEKI. Karena menurut penulis ilmu kedokteran/kesehatan merupakan paduan antara ilmu pengetahuan dan seni, 3 dikali 3 tidak harus 9 hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi hasil yang ingin dicapai seperti kondisi tubuh pasien, cara penanganannya, komplikasi dan banyak faktor yang lain termasuk tidak atau tersedianya peralatan kedokteran yang memadai. Sehingga tidak ada 2 kasus yang diselesaikan dengan hasil yang sama.

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950), selain itu menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan kelalaian dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter, resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :

1. Kecelakaan

2. Resiko tindakan medik (risk of treatment)

3. Kesalahan penilaian (error of judgement)

Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)

2. Perbuatan itu melanggara hukum

3. Ada kerugian yang ditanggung pasien

4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan

5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan dalam menentukan telah terjadi malparaktik atau tidak karena dalam tatanan hukum indonesia belum diatur mengenai standar profesi dokter sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian atau pembunuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di bidang asuransi kita berharap pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut dengan menerbitkan produk hukum yang mengatur tentang standar profesi.

Tips Menghindari Malpraktik

Untuk menghindari kemungkinan tindakan malpraktik yang dilakukan dokter, ada beberapa hal yang dilakukan pasien. Yang jelas, ia harus aktif. Ini juga untuk menumbuhkan kesadaran pasien atas hak-hak yang dimilikinya saat menghadapi dokter. Apa yang dapat dilakukan pasien, simak saran dari dr. Bahar Azwar, Sp.B.Onk.:

- Jangan menerima mentah-mentah apa yang dikatakan dokter. Jika ada yang tidak Anda mengerti, segeralah bertanya. Dengan bertanya, paling tidak Anda akan tahu alasan dokter memvonis penyakit Anda.

- Jangan menganggap dokter tahu segalanya. Jika dokter terlihat ragu pada diagnosa yang ia buat, segeralah bertanya.

- Usahakan Anda mengerti masalah hukum dan etika yang mengatur hak dan kewajiban pasien dan dokter. Bahan bisa Anda peroleh dari mana saja, sperti buku, majalah, teve, dan lain-lain.

- Cari tahu segala hal tentang dokter dan pengobatan yang ditawarkan. Dengan demikian, Anda tidak akan dirugikan oleh pelayanan dokter. Atau paling tidak, jika merasa dirugikan, Anda dapat menuntut pelayanan yang lebih baik.

- Jangan takut meminta pendapat kedua pada pihak lain, entah itu dokter atau pengobat tradisional. Jika merasa ragu, pindah dokter juga dibolehkan asal Anda tahu apa yang Anda lakukan.


UU Praktik Kedokteran dalam Perspektif Malpraktik Medis

Chrisdiono M Achadiat

Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut RUU PK) kini sedang dibahas di DPR dan banyak pihak menaruh harapan besar terhadap perangkat peraturan ini. Agak mengherankan memang, karena ternyata sampai saat ini Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang belum memiliki UU untuk mengatur praktik kedokteran, sedangkan negara yang tergolong "terbelakang" seperti Vietnam atau Myanmar telah memiliki UU seperti itu sejak lama!

Meskipun terkesan agak terlambat, apabila RUU ini bisa lolos nantinya pastilah akan merupakan "terobosan" yang sangat bermakna bagi praktik kedokteran; apalagi belakangan ini ramai diberitakan dalam media cetak maupun elektronik mengenai pelbagai kasus berkaitan dengan perselisihan antara dokter dan pasiennya.

Bagaimana sebenarnya isi dari RUU itu, yang kini menjadi polemik hangat di kalangan profesi kedokteran maupun masyarakat umum?

Latar belakang, filosofi, dan tujuan

Praktik kedokteran dalam pengertian luas pada hakikatnya adalah perwujudan idealisme dan spirit pengabdian seorang dokter, sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam perkembangannya kemudian, seluruh aspek kehidupan di dunia ini mengalami perubahan paradigma secara bermakna, termasuk dalam profesi kedokteran, dengan akibat terjadi pula perubahan orientasi dan motivasi pengabdian tersebut pada diri sebagian dokter. Sebagai dampak perubahan yang semakin global, individualistik, materialistik, dan hedonistik tersebut, maka perilaku dan sikap tindak profesional di sebagian kalangan dokter juga berubah.

Masyarakat kemudian juga semakin memandang negatif profesi kedokteran karena melihat dan menyaksikan maraknya praktik-praktik kedokteran yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur Sumpah Dokter dan KODEKI. Masyarakat atau pasien (yang dalam terminologi bisnis kini disebut konsumen, juga dalam konteks kontrak terapeutik!) merasa perlu "melindungi diri" terhadap perilaku hedonistik dan unethical para dokter itu.

Materi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mencerminkan kekhawatiran tersebut dan profesi kedokteran adalah salah satu bidang yang tercakup di dalam UU No 8/1999. Bahkan ditegaskan bahwa kontrak terapeutik antara dokter dan pasien adalah seperti halnya kontrak-kontrak jasa atau dagang lainnya.

Setuju atau tidak, suka atau tidak suka, tetapi jelas bahwa bidang kedokteran (yakni kontrak terapeutik) sudah termasuk dalam cakupan UU itu, sehingga pasien kemudian disebut sebagai konsumen pelayanan kesehatan (health consumers) dan dokter atau rumah sakit sebagai produsen jasa pelayanan kesehatan (health producers).

Karena itu, kalangan profesi kedokteran yang merasa sangat "terancam" dan keberatan dengan UU Perlindungan Konsumen itu kemudian (secara kebetulan?) mengajukan RUU PK ini. Dengan demikian, tak terhindarkan adanya kesan kuat bahwa RUU PK adalah reaksi belaka terhadap UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, benarkah RUU PK tersebut disusun sebagai reaksi terhadap UU No 8/1999 itu sebagaimana disinyalir banyak kalangan? Benarkah RUU PK itu semacam "payung perlindungan" dokter atas maraknya tuntutan masyarakat/pasien terhadap para praktisi kedokteran?

Disebutkan dalam RUU PK bahwa tujuan pengaturan, pengawasan, dan pembinaan penyelenggaraan praktik kedokteran melalui UU ialah: (a) Memberikan perlindungan kepada penderita atau masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan; (b) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan oleh tenaga medis (domestik atau asing); dan (c) Memberikan kepastian hukum kepada penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter dan dokter gigi).

Jadi, sangat jelas bahwa RUU PK ternyata bukan hanya sekadar reaksi terhadap adanya UU No 8/1999, melainkan lebih jauh dari itu adalah mengatur dan menyeimbangkan hak kewajiban dokter dan pasien dalam konteks praktik kedokteran. Bukankah selama ini selalu menjadi polemik hangat, siapa sebenarnya secara hukum memiliki kedudukan lebih tinggi/kuat? Dokter atau pasien/masyarakat?

Kalangan dokter berpendapat pihak pasien terlalu/sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut/menggugat dokter untuk suatu hasil pengobatan negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal, dampak dari tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap dokter yang dituntut/digugat; sedangkan pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian dokter yang merawat.

Sering kali, bahkan pihak pasien (melalui pengacaranya) telah memublikasikan kasus yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat "stempel" malpraktik harus ditetapkan melalui proses peradilan!

Sebaliknya, pihak pasien berpendapat bahwa dokter-dokter itulah yang "kebal hukum" dan selalu berlindung di balik etika kedokteran agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul. Image negatif terhadap profesi kedokteran ini semakin mengental ketika pelbagai pengaduan oleh masyarakat kepada organisasi profesi (yakni Ikatan Dokter Indonesia/IDI) sangat lamban ditanggapi, kalau tidak mau disebut IDI bahkan sering kali kurang peduli dengan pengaduan-pengaduan tersebut!

Keadaan itu diikuti dan diperparah lagi dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap IDI (baca: profesi kedokteran) akibat lambannya respons (untuk tidak menyebut no response!) terhadap pelanggaran-pelanggaran tadi. Bahkan yang paling "kasatmata" atau terang-terangan sekalipun, IDI sepertinya bersikap sangat pasif! IDI terkesan selalu nongkrong di kantor menunggu pengaduan dan bahkan lebih konyol lagi, tampaknya IDI berpegang pada prinsip "tidak ada pengaduan berarti semuanya baik-baik saja!"

Pelbagai pelanggaran etika dan hukum yang begitu jelas, transparan, kasatmata, dan telah berjalan bertahun-tahun, dilakukan oleh beberapa kalangan dokter (dan juga nondokter, tetapi menggunakan atribut maupun idiom-idiom dokter/kedokteran) tanpa adanya teguran atau peringatan dari siapa pun (termasuk IDI), sampai detik ini pun masih berlangsung dengan aman-aman saja! IDI terkesan sangat "berpihak" kepada anggota-anggotanya (baca: para dokter!), nyaris secara membabi buta! Tidak jarang masyarakat menjadi jengkel dan terheran-heran ketika pengaduan-pengaduan pelanggaran etika kedokteran oleh dokter diputuskan "salah alamat" oleh IDI/MKEK! Dengan begitu, pelanggaran-pelanggaran etika (dan juga hukum!) cenderung berlanjut terus!

Moralitas profesi

Walaupun yang mengajukan RUU PK adalah kalangan dokter dan profesional medis, seyogianya tetap tidak meninggalkan nilai-nilai moralitas dan etika dari profesi ini, yakni kepentingan masyarakat/pasien adalah di atas segala-galanya!

Namun, klausul "kepentingan pasien di atas segala-galanya" itu juga harus tetap dibaca dalam konteks keadilan dan keseimbangan dengan hak-hak asasi sang dokter! Jadi, kalau dokter melanggar hukum, ia harus diproses secara hukum dan (jika bersalah!) dikenai sanksi hukum, sedangkan untuk pelanggaran etika kedokteran, sang dokter dikenai sanksi etika.

Masyarakat juga harus disadarkan bahwa sanksi maksimal untuk suatu pelanggaran etika adalah dikeluarkan dari komunitas penganut etika profesi, tidak ada sanksi berupa kurungan/penjara, denda atau ganti rugi bagi suatu pelanggaran etika! Bahkan, dokter yang tak terbukti melanggar atau bersalah harus dipulihkan nama baiknya!

Dua substansi utama dalam RUU PK ialah mengenai Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis (PDPTM). Sedikit keheranan penulis adalah mengapa digunakan istilah Konsil (dari kosakata bahasa Inggris council), padahal kita telah memiliki terjemahannya, yakni Dewan. Dalam konteks itu pula, agaknya akan lebih tetap disebut sebagai Dewan Kedokteran Indonesia. Sebagai perbandingan, badan PBB Security Council tetap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Dewan Keamanan, bukan Konsil Keamanan!

Dalam RUU PK disebutkan bahwa KKI adalah suatu lembaga negara nonstruktural dan bersifat independen, "posisi"-nya di atas semua organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi, serta semua instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan pelayanan kesehatan. KKI bekerja berlandaskan UU dan berfungsi mengatur, membina, dan menetapkan tenaga medis (dokter dan dokter gigi) untuk menjalankan praktik profesinya dalam kerangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan. KKI diangkat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Rincian tugas KKI adalah (Pasal 6 RUU PK): (a) Melaksanakan registrasi terhadap semua tenaga medis; (b) Menetapkan standar pendidikan bagi tenaga medis; (c) Menyaring, menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) medis dalam praktik kedokteran; dan (d) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua penyelenggaraan praktik kedokteran.

Kewenangan dari KKI dalam Pasal 8 sebenarnya lebih bersifat "internal", yakni sepenuhnya ditujukan kepada para penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter dan dokter gigi). Sebagai contoh, salah satu kewenangan KKI adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi tenaga medis (Ayat 1), menerbitkan atau mencabut registrasi tenaga medis (Ayat 2). Selengkapnya kewenangan KKI ini dapat dilihat pada Boks 1.

Kemudian, setiap tenaga medis yang berpraktik harus memiliki Sertifikat Registrasi Tenaga Medis (SRTM) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19. Mereka yang tidak memiliki SRTM (dan Surat Izin Praktik atau SIP) dalam berpraktik diancam dengan sanksi pidana penjara selama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150 juta (Pasal 170). Memang banyak pihak yang mempertanyakan mengapa sanksi untuk ini sangat "ringan" mengingat denda sedemikian ini dapat "dilunasi" oleh kalangan dokter tertentu hanya dengan sebulan berpraktik!

Substansi kedua yang lebih dominan dalam RUU ini ialah pasal-pasal tentang peradilan profesi, baik yang berupa Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis (PDPTM) maupun Pengadilan Tinggi Disiplin Profesi Tenaga Medis (PTDPTM), mencakup 129 pasal dari keseluruhan 178 pasal RUU ini (72,5 persen). Kedua lembaga peradilan ini pada akhirnya tetap bermuara pada Mahkamah Agung (MA). Hal baru yang menarik dalam RUU PK ialah ditunjuknya hakim-hakim dalam PDPTM maupun PTDPTM yang terdiri atas para ahli hukum dan juga tenaga medis (yang terakhir ini disebut sebagai hakim ad hoc).

Terobosan hakim ad hoc ini sangat mengesankan, mengingat selama ini pelbagai keputusan hukum dalam bidang kedokteran acap kali dilakukan oleh para hakim yang murni ahli hukum dan dengan demikian sering pula tidak dapat memenuhi rasa keadilan (khususnya bagi para dokter). Banyak nuansa profesi kedokteran yang hanya dapat dirasakan, dijelaskan, dan dihayati oleh orang-orang yang paham dengan profesi ini.

Hakikat perikatan/perjanjian dalam kontrak terapeutik misalnya adalah berdasarkan usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis) dan bukan berdasarkan hasil semata (resultaatverbintenis)! Jadi, yang menjadi fokus dalam perkara perselisihan hukum kedokteran bukanlah sembuh atau tidaknya pasien (baca: hasil!), melainkan apakah dokter itu sudah menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya (ukuran tertinggi)! Para hakim yang memutuskan perkara perselisihan hukum kedokteran di negara-negara maju, misalnya, biasanya telah mendapat pengetahuan tambahan mengenai etika dan hukum kedokteran mengingat sifat dan hakikatnya yang sangat khas dan "agak berbeda" dengan hukum pada umumnya.

Mengenai gugatan atau tuntutan hukum terhadap para tenaga medis, timbul pertanyaan mengenai siapa yang dapat mengajukan tuntutan/gugatan atas kerugian yang ditimbulkan oleh praktik tenaga medis? Disebutkan dalam RUU PK bahwa "Setiap orang atau badan yang merasa dirugikan oleh tindakan tenaga medis yang menjalankan praktiknya, dapat mengajukan tuntutan secara tertulis kepada PDPTM" (Pasal 87).

Masih belum cukup jelas, apakah organisasi profesi kedokteran (seperti IDI) juga bisa mengajukan tuntutan/gugatan terhadap anggotanya (baca: dokter!) yang melanggar UU ini? Jika hal ini bisa terwujud, akan merupakan terobosan bermakna dalam rangka pengawasan dan pembinaan oleh IDI terhadap perilaku para dokter atau tenaga medis lainnya. Hal ini mengingat selama ini IDI terkesan hanya sebagai "macan ompong" bila berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran KODEKI maupun pelanggaran hukum.

Klausul ini juga masih menyisakan sedikit pertanyaan, bagaimana dengan dokter yang bekerja di suatu corporate atau rumah sakit? Apakah dokter itu bisa dituntut berdasarkan pasal ini jika ia melakukan kesalahan ketika sedang bekerja di corporate tersebut dan bukan di tempatnya berpraktik?

Masalah mendasar yang selama ini terjadi justru karena IDI tidak pernah merasa terusik atau dirugikan kepentingannya oleh adanya pelbagai pelanggaran oleh anggotanya; sehingga IDI terkesan sangat tidak peka dan tidak peduli, padahal yang terjadi adalah pelanggaran etika kedokteran! Kalaupun ada kepedulian itu, kemudian IDI masih juga terjebak dalam paradigma "konyol" bahwa IDI harus membela (kalau perlu secara all out!) para anggotanya! Sadar atau tidak, sikap IDI yang seperti inilah yang "menjengkelkan" masyarakat dan sekaligus menghilangkan kepercayaan kepada IDI sebagai organisasi kaum profesional/dokter!

Dalam pandangan penulis, seharusnyalah IDI membina, mengawasi, dan kalau perlu menegur atau memperingatkan para anggotanya agar selalu berperilaku dan bertindak dengan berpedoman pada KODEKI dan Sumpah Dokter sebagai landasan moral dan perilaku profesional. Jika teguran atau peringatan itu tidak digubris, IDI dan organisasi profesi medik lain seyogianya diberi kewenangan, keberdayaan, dan kesempatan untuk menuntut/menggugat tenaga medis/dokter tersebut (dan kini hal itu dimungkinkan oleh RUU PK?), baik yang anggota maupun bukan anggota IDI.

Hakikat IDI sebagai moral and ethical guard profesi kedokteran harus selalu menjadi acuan dalam kiprahnya "mengawal" profesi yang (konon) luhur dan mulia ini! Penulis berpendapat bahwa "gigi taring" IDI untuk mencabut rekomendasi izin praktik yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan selama ini terasa sangat tumpul dan tidak efisien, apalagi sekarang banyak dokter yang bukan anggota IDI!

Selanjutnya, Pasal 87 juga menguraikan alasan-alasan bagi para pihak agar dapat mengajukan gugatan/tuntutan (selengkapnya dapat dilihat dalam Boks 2). Pasal 89 menyebutkan "Pengaduan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak dilakukannya tindakan medis tersebut". Sebagai alat bukti dalam mengajukan tuntutan tersebut, Pasal 133 menyebutkan: (a) surat-surat atau tulisan (persetujuan tindakan medis, catatan medis dan bukti-bukti tulisan lainnya); (b) keterangan ahli; (c) keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; dan (e) pengetahuan hakim.

Secara keseluruhan, semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut diawasi dan dibina oleh suatu badan yang dibentuk khusus untuk keperluan itu, terdiri atas Menteri Kesehatan (dan/atau aparat di bawahnya) dan organisasi profesi terkait (pasal 169). Kegiatan badan ini diarahkan kepada dua hal penting, yakni (1) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta (2) melindungi masyarakat (baca: pasien) dari tindakan yang merugikan oleh tenaga medis. Dalam konteks praktik kedokteran, maka butir kedua ini menepis anggapan bahwa UU ini hanya membela kepentingan para tenaga medis, justru sekarang terlihat bahwa masyarakat sangat terlindungi!

Siapakah yang dapat dipidana menurut RUU PK ini? Pasal 170: "Barangsiapa melakukan praktik kedokteran (a) Tanpa memiliki SRTM (Sertifikat Registrasi Tenaga Medis) dan SIP (Surat Izin Praktik); (b) Tidak memasang papan praktik kedokteran; (c) Tidak mengikuti SPM (Standar Pelayanan Medis); (d) Memberikan janji terhadap keberhasilan suatu tindakan medis; dan (e) Tidak melaksanakan atau memelihara CM (Catatan Medis); dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus limapuluh juta rupiah)".

Secara konotatif, kata "barangsiapa" menunjukkan individu (pola yang sama juga berlaku dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP!) dan dengan demikian merujuk pada orang per orang (baca: dokter!). Penulis berpandangan bahwa pelanggaran yang dilakukan (misalnya) oleh dan dalam suatu corporate seperti rumah sakit tidak termasuk dalam pengertian Pasal 170 RUU PK itu, tetapi individu dokternya (jika ia menjadi pelakunya!) bisa dituntut/digugat sebagai tenaga medis.

Memang, rasanya untuk hal-hal seperti itu (berkaitan dengan soal corporate dalam bidang pelayanan kesehatan) perlu disusun peraturan perundang-undangannya terpisah dari UU Praktik Kedokteran. Sekali lagi terlihat bahwa RUU ini sama sekali bukanlah reaksi belaka atas UU Perlindungan Konsumen karena pihak pasien tidak disebut-sebut (eksplisit atau implisit) sebagai pihak yang dapat dipidana menurut RUU PK ini!

Sudah siap?

Setelah membahas RUU PK dalam garis besarnya, timbul pertanyaan mengenai kesiapan masyarakat maupun kalangan dokter/tenaga medis. Harus diakui, bahkan di kalangan medis pun sosialisasi RUU PK ini terkesan kurang serius dilakukan, apalagi untuk "masyarakat awam"! Seorang dokter bedah senior menyatakan bahwa kalangan dokter dan dokter gigi telah siap secara formal karena memang tak ada pilihan lain (mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka!), tetapi secara kultural dan moral masih tetap menjadi pertanyaan besar!

Harus diakui, selama ini dokter dan tenaga medis lain sudah sangat terbiasa dengan iklim di mana praktik-praktik yang tidak memiliki acuan etika, moral, dan hukum dapat dijalankan tanpa ada peringatan, teguran, apalagi sanksi dari siapa pun (termasuk IDI!). Acap kali pula bentuk-bentuk praktik yang diketahui (oleh kalangan awam sekalipun!) sebagai pelanggaran etika maupun hukum toh dapat berjalan lancar tanpa pernah ada tindakan/teguran/peringatan atau sanksi apa pun dari organisasi profesi (seperti IDI), aparat yang berwenang (Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan misalnya) maupun aparat penegak hukum lainnya.

Contoh-contoh itu misalnya dokter yang melakukan aborsi tanpa indikasi medis. Juga seseorang yang mencantumkan gelar dokter (bahkan dokter ahli, walaupun dokter ahli penyakit dalam tenaga chi kung!), tetapi ia tidak pernah kuliah di FK dan kemudian menyelenggarakan praktik kedokteran dengan metode sangat "aneh dan ajaib" yang tak dikenal dalam dunia kedokteran lazimnya.

Demikian pula dengan dokter umum (artinya tak pernah mengikuti pendidikan spesialisasi dan dengan demikian tidak memiliki ijazah maupun brevet sebagai spesialis!) yang bertindak dan berlaku sebagaimana dokter spesialis, termasuk melakukan pembedahan-pembedahan yang sama sekali bukan kewenangannya ("Perlukah MKEK ’Bersidang’ Juga?", Kompas, 24/7/2002). Apakah UU PK yang akan diberlakukan nanti juga akan mencakup kasus-kasus seperti itu, wallahualam bisawab, karena sampai detik ini pun pelanggaran-pelanggaran seperti itu masih tetap marak berlangsung, walaupun telah berjalan bertahun-tahun secara terang-terangan!

Di pihak lain, masyarakat juga tampaknya belum siap terhadap suatu prosedur hukum dengan adanya lembaga peradilan seperti PDPTM dan PTDPTM, di mana nanti hakim-hakimnya termasuk yang ad hoc (yakni tenaga medis!). Selama ini, masyarakat (dan media cetak/elektronik) sudah terbiasa dengan street justice dan mengabaikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), yakni seringnya menyebut malpraktik untuk kasus yang belum diputuskan oleh pengadilan, tanpa mempertimbangkan dampak yang timbul dari publikasi seperti itu. Seorang dokter yang belum pernah menjalani proses peradilan (dan dengan demikian belum terbukti bersalah atau tidak) terkadang telah mendapat "vonis" malpraktik dan sekaligus memperoleh "hukuman" berupa character assassination!

Nah, hal-hal itulah yang sepertinya akan diupayakan untuk diakomodasi oleh RUU PK! Baik tenaga medis maupun masyarakat/pasien diharapkan dan dimungkinkan dapat memenuhi hak dan kewajiban masing-masing secara harmonis, jujur, fair, adil, dan seimbang.

Rangkuman

Para penyelenggara negara sebenarnya bisa belajar dari pengalaman keberadaan UU No 23/1992 tentang Kesehatan (atau lebih dikenal sebagai UU Kesehatan) yang sampai detik ini belum terlaksana dengan utuh (dalam usianya yang 12 tahun), karena lambannya pembentukan dan pengesahan peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (keppres) yang diperlukan sebagai implementasi UU tersebut.

Dari sekitar 50-an PP dan keppres yang dibutuhkan, baru sekitar enam atau tujuh yang telah rampung. Hingga sekarang, praktis UU No 23/1992 itu tidak bisa dilaksanakan alias macet karena peranti dan perangkat pendukungnya ternyata tidak pernah siap! Belakangan, malah sudah semakin keras suara-suara yang menghendaki UU No 23/1992 ini supaya diganti atau diamandemen!

Memang wajar sekali jika pelbagai peraturan atau UU hanya akan menjadi bahan lelucon, tertawaan, dan gunjingan belaka apabila tidak dilaksanakan dan diikuti dengan law enforcement secara tegas dan lugas. Semua orang sudah mafhum bahwa kelemahan utama bangsa ini adalah dalam melaksanakan dan mengimplementasikan suatu peraturan! Bangsa ini sangat unggul dalam membuat peraturan atau UU yang bagus-bagus, tetapi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah soal lain lagi!

Penulis sangat menaruh harapan atas RUU PK ini dan berharap dapat segera disahkan oleh DPR menjadi UU. Paling sedikit, bagian yang mengandung substansi KKI atau Konsil Kedokteran Indonesia tersebut ditetapkan dulu, sedangkan bagian yang mengandung substansi lain dapat dikaji lebih mendalam dulu sebelum disahkan. Tak mungkin bagi siapa pun untuk membantah fakta bahwa rambu-rambu etika saja ternyata tidak lagi mampu mengendalikan perilaku para dokter sehingga diperlukan perangkat yang lebih tegas dan "represif", yaitu UU mengenai Praktik Kedokteran!

Patut pula kita renungkan sebuah pepatah Cina kuno berikut ini: the more laws you make, the more criminals are created! Benarkah demikian? Dalam pandangan penulis, pepatah itu hanya akan menjadi benar adanya jika suatu peraturan atau UU tidak dapat, tidak mampu, atau tidak mau dilaksanakan/diimplementasikan secara konsisten-konsekuen alias "mandul"!


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.

Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.

RUMUSAN MASALAH
Apa itu malpraktek?
Apa asumsi masyarakat terhadap malpraktek?
Mengapa malratek justru banyak timbul pada zaman sekarang ini?
Apa saja unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek?
Bagaimana kasus-kasus malpraktek?
Apa hukum dari tindakan malpaktek?

TUJUAN
Mengetahui pengertian malpraktek.
Mengetahui asumsi masyarakat terhadap malpraktek.
Mengetahui penyebab timbulnya mal praktek pada zaman sekarang.
Mengetahui unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek.
Mengetahui kasus- kasus yang meliputi malpraktek.
Mengetahui hukum dari tindakan malpraktek.


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian malpraktek

Kelalaian ialah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan atau hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan, (Keeton, 1984). Sedangkan menurut Hanafiah dan Amir ( 1999 ) Kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu dengan sikap hati-hati tetapi tidak melakukannya dalam situasi tertentu. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan oleh seseorang dengan hati-hati, dalam keadaan tersebut itu merupakan suatu tindakan seseorang yang hati-hati dan wajar tidak akan melakukan didalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa orang lain dengan hati-hati yang wajar justru akan melakukan didalam keadaan yang sama.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa kelalaian dapat bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain tetapi akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya, namun jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut nyawa orang lain ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat, serius dan criminal menurut (Hanafiah dan Amir, 1999).

Istilah malpraktek bisa dibilang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Media informasi, baik cetak maupun elektronik,banyak sekali meliput masalah ini. Hal ini akan berdampak buruk terhadap eksistensi dunia kesehatan di Indonesia. Para tenaga medis dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggungjawab. Akan tetapi, yang namanya manusia suatu waktu dapat melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak disengaja. Hal inilah yang mengarah ke ruang lingkup malpraktek. Dari berbagai sumber yang kami baca, malpraktek adalah kelalaian tenaga medis untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien. Kelalaian yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati, melakukan tindakan kesehatan dibawah standar pelayanan medik. Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi, jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi,mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa dikatakan malpraktek. Jadi, dapat disimpulkan bahwa malpraktek adalah kelalaian dengan kategori berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar. Dari uraian di atas,bisa kita dapatkan indikasi-indikasi tenaga medis melakukan malpraktek, apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum, melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati, kurang menguasai iptek kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi. Yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik menurut ukuran tertentu yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalaman.


Asumsi masyarakat terhadap malpraktek

Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.

Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.

Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.

Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

Unsur-unsur yang menyebabkan malpraktek

Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):
1.Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.

Contoh: :
Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:
a.Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan.
b.Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk mengubah kondisi klien.
c.Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.
2.Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Contoh:
a.Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti tingkat kesadaran pada saat masuk.
b.Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c.Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll)
3.Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.

Contoh:
Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan mengakibatkan fraktur.
4.Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.

Contoh: :
Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.


Kasus-kasus malpraktek

Pembicaraan tentang malpraktik medik bukan hal baru di Indonesia.Tercatat dalam sejarah dunia kedokteran di Indonesia tahun 1923 telah ada kasus pasien (Djamiun) yang meninggal dunia karena kelebihan dosis obat yang diberikan.Tetapi yang sangat menyita perhatian publik adalah kasus seorang dokter perempuan yang bekerja disalah satu Puskesmas di Pati Jawa Tengah yang diduga telah melakukan malpraktek sehingga menyebabkan pasien yang ditanganinya meninggal dunia. Pada Pengadilan Negeri Pati, Dr. Setyaningrum dianggap bersalah, didakwa dengan pasal 359 KUHP. Putusan PN Pati kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Tapi pada kasasi, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kedua putusan pengadilan judex factie tersebut dan membebaskan dokter tersebut.

Sejak itu ada saja kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan media. Tetapi perbincangan tentang persoalan ini mengalami pasang surut seirama dengan banyaknya kasus yang terjadi dan menjadi polemik dalam masyarakat. Ketika tidak banyak media massa memblow up malpraktik di masyarakat, perdebatan soal ini pun terkesan tidak antusias lagi, padahal dari hari ke hari masalah ini perlu perhatian karena berkaitan lintas disiplin ilmu, yaitu kedokteran dan hukum. Apalagi mengingat teknologi kedokteran serta penyakit yang ada semakin kompleks.

Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan.

Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan kesehatannya karena ia percaya atau yakin pada kemampuan dokter tersebut melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat pemasangan plang nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian reputasi dokter sehingga menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.

Istilah malpraktik medik awalnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum kita. Tidak ada peraturan perundangan yang secara khusus menyebut masalah malpraktik ini. Hal ini wajar mengingat istilah ini berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, meskipun sebenarnya ada beberapa peraturan hukum seperti KUHPerdata (perbuatan wanprestasi/pasal 1243 BW dan Perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365BW) serta beberapa pasal konvensional dalam KUHP (seperti pasal 359,360 dan 344) yang meskipun tidak secara ekspilisit menyebut ketentuan tentang malpraktik namun dapat digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan perdata atau tuntutan pidana.

Dari sudut harfiah, istilah malpraktik atau malpractice atau malapraxis artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “unprofessional misconduct or unreasonable lack of skill. Jika memperhatikan pengertian diatas jelas perbuatan malpraktik bukan monopoli dari profesi medis (dokter). Ini berlaku juga bagi profesi hukum (misalnya advokat,hakim) atau perbankan (semisal akuntan). Jika dihubungkan dengan profesi medis barulah disebut malpraktik medik. Namun entah mengapa jika membicarakan istilah malpraktik ini selalu yang dimaksudkan adalah tindakan buruk yang dilakukan dokter.

Istilah malpraktik medik ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 yang menyatakan bahwa malapraxis is great misdemeanor and offence at common law, whether it be for curiousity or experiment or by neglect: because it breaks the trust which the party had place in his physician and tend to the patient’s destruction.

Sedangkan menurut M. Yusuf Hanafiah malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Pengertian yang dikemukakan oleh World Medical Association, menunjukkan bahwa malpraktik medik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct terntentu, tindakan kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompeten yang tidak beralasan.

Pandangan malpraktik medik (kedokteran) yang dikaitkan dengan factor tanpa wewenang atau tanpa kompetensi ini dapat dipahami jika dihubungkan dari sudut hukum administrasi. Kesalahan dokter karena tidak memiliki Surat Izin Praktek (Pasal 36 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) atau tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (pasal 29 ayat (1) lebih bersifat pelanggaran administrasi. Tetapi pelanggaran administrasi ini berpeluang menjadi tindak pidana karena dalam pasal lain dari UU 29/2004 itu menyebutkan sanksi pidana (dalam pasal 75 jo 76). Perbuatan pelanggaran dalam wilayah administrasi ini baru berpeluang menjadi malpraktik jika mengakibatkan kerugian fisik atau kehilangan nyawa pasien.

Sementara itu dari sudut hukum perdata malpraktik sangat berkaitan adanya pelanggaran kewajiban oleh tenaga medis. Tidak akan ada malpraktik jika tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada tenaga medis melalui hubungan yang sifatnya merupakan kontrak teurapeutik.

Dari sudut hukum pidana ada standar umum yang harus dipenuhi bagi kelakuan malpraktik medik sehingga dapat membentuk pertanggungjawaban pidana, yaitu adanya sikap bathin pembuat, aspek perlakuan medis dan aspek akibat perlakuan. Pemahaman yang tidak seragam mengenai masalah malpraktik medik dari sudut hukum bukan hanya berkaitan dengan ketiga aspek diatas tapi juga menyangkut dengan belum adanya hukum yang khusus mengenai malpraktik medik tersebut. Dalam UU No.29/2004 juga tidak memuat pengertian malpraktik hanya memberi dasar hukum bagi korban (pasien) yang dirugikan untuk melaporkan tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 66 ayat (1).


Aspek hukum malpratek

Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.

Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).

Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).

Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia
dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.

Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya.
Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.

Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.

Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.

Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.


Saran

Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi secara perdata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar