Rabu, 18 Maret 2009

Sosialisasi politik dalam keperawatan

SOSIALISASI POLITIK
Di dalam Sosiologi Politik ada rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, yakni Sosialisasi, Komunikasi, Partisipasi, Perekrutan Politik.

Dalam kesempatan ini Penulis mengungkap terkait Sosialisasi Politik yang ada di Indonesia. Cara Sosialisasi yang umum digunakan adalah kampanye. Di dalam masa kampanye waktu yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat terbatas. Berbagai cara sosialisasi dilakukan, diantaranya adalah pemasangan poster-poster yang sering kita jumpai di jalanan. Tidak hanya itu sering kali kita lihat di tayangan iklan layanan masyarakat wajah tokoh parpol nongol di televisi. Terkadang pula kampanye disela-sela musibah yang sedang terjadi dengan memberikan sumbangan bagi korban bencana.

Tetapi Sosialisasi yang ada tidak sesuai dengan target atau sasaran yang hendak dicapai atau lebih tepatnya masyarakat secara umum. Para calon yang disosialisasikan tidak banyak dikenal oleh masyarakat atau calon pemilih. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengerti mana calon yang akan dipilihnya. Terutama calon yang sudah mereka kenal. Jadi hanya sedikit sekali yang mengerti calon yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan para calon pemilih. Karena memang waktu pengenalan yang kurang, serta tingkat kesadaran masyarakat saat ini yang terbiasa dengan 'ombang-ambing' politik yang sering terjadi sehingga sebagian kalangan lebih memilih golput. Tidak hanya itu dengan sebagian yang tidak kenal dengan calon yang akan dipilih, mereka hanya meraba-raba dalam memilih calonnya. Hal ini menjadikan penilaian yang diambil tentunya subjektif bukan lagi objektif.

PENDIDIKAN POLITIK DI INDONESIA
Perjalan pendidikan politik di Indonesia hingga saat ini tahun 2009 bisa dibilang tidak cukup bagus dan sangat jauh dari negara-negara maju. Kita tentu dapat melihat 'pertempuran' pemain politik negri ini. Mulai tingkat daerah hingga tataran pemerintah pusat.

Kita bisa melihat disaat-saat pemilihan berlangsung. Calon yang kalah selalu menuntut untuk diadakan penghitungan bahkan pemilihan ulang. Para calon yang kalah tidak bersedia mengakui kekalahannya. Hal ini terkesan tidak adanya niatan membangun bersama-sama negri ini maupun daerah tempat pemilihan.

Tidak ketinggalan pula aksi anarkis selalu mewarnai jalannya kampanye parpol selalu terjadi. Tidak hanya disaat kampanya, terlebih usai penghitungan suara selalu saja kerusuhan terjadi. Tentunya pendukung hanya terombang-ambing tidak jelas arah. Rakyat yang jadi penonton hanya bisa melihat kelakuan para calon pemimpinnya.

Lain halnya yang terjadi di luar negeri atau negara-negara yang sudah maju, calon yang kalah pasti mengucapkan selamat kepada calon terpilih dengan bangga diusai penghitungan suara.
Hendaknya kita bisa mencontoh hal baik yang diterapkan negara tetangga. Kita perbaiki lagi sistem yang kita terapkan di negri ini demi membangun negri tercinta.

SEPUTAR UU PEMILU
Mantan Ketua Pansus RUU Pilpres, Ferry Mursyidan Baldan menepis kekhawatiran kelompok masyarakat bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara sudah terkikis, baik dalam kebijakan pemerintah maupun pembuatan undang-undang (UU), seperti UU Pornografi, UU Pemilu dan UU Pilpres.
"Kekhawatiran itu tidak benar. UU Pemilu dan Pilpres yang dibuat oleh DPR RI sudah Pancasilais. Sudah mempertimbangkan nilai-nilai Pancasila," tegas Ferry Mursyidan Baldan, dalam dialog bertajuk "Pancasila dan Sistem Politik" bersama Ikrar Nusa Bhakti (LIPI), Agus Wahyudi (PSP UGM), dan Eva Kusuma Sundari (Kaukus Pancasila/Fraksi PDIP), Jumat (28/11).
Ferry mencontohkan, jika UU Pemilu dan UU Pilpres itu tidak mempertimbangkan Pancasila, maka seharusnya wakil rakyat itu 60 persen berasal dari Jawa. Alasannya, penduduk Indonesia terbesar adalah 60 persen di Jawa. "Namun, faktanya kan tidak begitu. DPR terus berusaha membuat keseimbangan sistem perwakilan dengan daerah-daerah di luar Jawa," ujarnya.
Demikian juga parliamentary threshold sebesar 2,5 persen untuk kursi parlemen atau sekitar 15 kursi DPR baru bisa membentuk fraksi di DPR, itu hanya berlaku untuk DPR RI bukan untuk DPRD. Kalau itu diterapkan juga di DPRD, maka bisa menimbulkan gejolak politik di daerah bersangkutan.
Sedangkan Ikrar Nusa Bhakti mengatakan sependapat dengan pernyataan Ferry tersebut. Meski dirinya orang Jawa, masyarakat Jawa tidak mengharuskan presidennya berasal dari Jawa. "Siapa saja dan dari mana saja yang menjadi presiden silakan. Asal memenuhi syarat dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia," tegasnya.
Sebagai contoh, kata Ikrar, ketika Indonesia dipimpin oleh BJ Habibie menggantikan Soeharto, apakah ada orang Jawa yang menolak BJ Habibie. Menurut Ikrar sesungguhnya orang Jawa itu tidak peduli siapa yang menjadi pimpinan negeri ini. Yang penting kalau merujuk pada perjuangan demokrasi Bung Karno, lebih menekankan kepada sosio demokrasi dan itu berarti kesejahteraan sosial yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar